BERJUANG "TIDAK SETENGAH-SETENGAH" (Catatan Apresiatif untuk Formapp Mabar)

 

BERJUANG "TIDAK SETENGAH-SETENGAH" (Catatan Apresiatif untuk Formapp Mabar)

Kepedulian dan kecintaan sejumlah orang muda baik dari kalangan aktivis maupun mahasiswa di indonesia, untuk merombak terhadap masa depan bangsa ini tak pernah luntur. Mereka adalah anak zaman yang 'terpanggil' untuk meluruskan arah gerak politik pembangunan yang kerap merugikan kepentingan seluruh publik.

Sekelompok orang muda itu selalu merasa resah dan terganggu dengan skema kebijakan pembangunan negara yang cenderung mengabaikan karakteristik kewilayahan dan derap dinamika kepentingan publik. Mereka mendedikasikan energi intelektual untuk mengawal dan memastikan arah pergerakan pembangunan di level lokal pro pada aspek kemaslahatan publik.

Kini, kelompok kritis itu harus 'berjibaku' melawan kebijakan negara yang secara 'agresif' akan membangun sarana dan prasarana (Sarpras) mewah di seluruh Pulau yang ada di indonesia. karena itu mereka mengawal dan menuntun stiapa kebijakan yang di buat ole para penguasa di negeri ini.

Dalam kajian mereka, kebijakan itu jelas bertentangan dengan agenda konservasi yang telah menjadi concern utama publik global dan nasional saat ini. Kebijakan itu juga bisa mencederai skema pembangunan pariwisata selaras alam dan berkelanjutan yang telah menjadi 'nilai jual' utama kawasan TNK selama ini. Oleh sebab itu, rasanya tak berlebihan jika rencana itu diduga hanya untuk melayani kepentingan kapitalis dan cenderung meminggirkan masyarakat lokal.

Sebelumnya, para aktivis lokal yang tergabung dalam Forum Masyarakat Penyelamat Pariwisata (Formapp) Mabar ini, terlibat aktif dalam kegiatan advokasi dan demonstrasi menentang kebijakan yang terkesan otoriter dari penguasa di sektor kepariwisataan. Mereka terlibat dalam gerakan menolak kehadiran Badan Otorita Pariwisata (BOP) Labuan Bajo dan beberapa kebijakan yang cenderung merugikan kepentingan masyarakat kecil. Sebagai contoh, para aktivis ini secara heroik dan militan untuk membatalkan isu booking on line dan carrying capacity di TNK.

Pada tahun 2018 yang lalu, para aktivis Formapp itu sudah mulai tampil lebih berani di ruang publik. Kala itu, mereka berhadapan dengan isu pemberian izin investasi kepada dua perusahaan swasta di Pulau Rinca dan Pulau Komodo. Mereka mengobarkan panji perlawanan terhadap kebijakan politik privatisasi di dua pulau itu. Gerakan perlawanan itu tidak hanya mengandalkan "aksi protes di jalanan", tetapi juga berjuang lewat "jalur dialog" dengan para pembuat keputusan di level nasional.

Seperti yang diberitakan oleh salah satu stasiun Tv swasta nasional, sejumlah aktivis forum ini beraudiensi langsung dengan ibu Mentri Lingkungan Hidup, Siti Nurbaya di Jakarta. Mereka memberberkan "duduk perkara" mengapa publik Mabar menolak kebijakan mendirikan rest area dan restoran oleh PT Segara Komodo Lestari di Pulau Rinca. Selain itu, mereka menyampaikan "tutntutan sikap" yang sangat tegas untuk segera direspons oleh pihak kementrian Lingkungan Hidup.

Alhasil, pihak kementrian berencana membentuk 'tim investigasi' untuk menyelidiki proses pemberian izin terhadap dua perusahaan swasta yang beroperasi di kawasan TNK dan sejumlah implikasi yang ditimbulkannya. Saya kira, respons ibu menteri ini cukup menjanjikan. Ada indikasi bahwa perjuangan berbagai elemen masyarakat terkait dengan kebijakan privatisasi di kawasan TNK akan membuahkan hasil yang positif.

Tentu, kita patut memberikan apresiasi kepada Formapp yang tidak setengah-setengah dalam berjuang. Saya tidak melihat bahwa organisasi ini "ditunggangi" oleh politisi atau kelompok politik tertentu. Mereka adalah "sekelompok" anak muda yang belum "tercemar" dengan debu pragmatisme politik di level lokal. Dasar pijak perjuangan mereka adalah "rasa cinta" yang tulus terhadap Komodo dan masa depan industri pariwisata di Kabupaten Mabar.

Karena itu, tidak mengherankan jika mereka "berteriak tanpa beban" kala bersua dengan Bupati, DPRD, dan Kepala BTNK. Tidak seperti DPRD yang selalu terbebani oleh aneka kepentingan politik dan bupati yang "begitu patuh pada atasannya", mereka justru menggelorakan politik yang jernih. Politik yang semata-mata menempatkan kepentingan bersama sebagai orientasi perjuangan.

Saya kira, bupati dan DPRD Mabar perlu belajar banyak dari wadah publik yang kritis ini. Setidak-tidaknya, para elit lokal kita "harus belajar" bagaimana bersikap kritis terhadap kebijakan yang dirancang oleh Jakarta. Tidak semua rencana Jakarta "selaras" dengan karakteristik sumberdaya di aras daerah.

Posisi tawar bupati dan DPRD dalam kasus privatisasi ini semakin tenggelam. Mereka "masih" berkutat pada urusan "penghormatan" terhadap regulasi yang didesain oleh pemerintah pusat. Seolah-olah, mereka ada dan dipilih untuk melayani setiap "skema kebijakan" yang ditelurkan oleh pemerintah pusat tersebut.

Dalam catatan saya, para aktivis ini berjuang sangat serius dan total demi 'menyelamatkan' obyek wisata kita yang berada dalam cengkraman kepentingan para elit politik dan pebisnis. Mereka tak pernah lelah dan jedah berteriak melawan dan menentang semua model intervensi kebijakan yang cenderung merugikan kepentingan warga lokal. Tegasnya, para aktivis itu semakin solid. Sejumlah elemen masyarakat sipil lain yang umumnya para pelaku wisata dan pegiat konservasi, sudah rapatkan barisan dan bergabung dalam panji gerakan yang diusung Formal itu.

Komentar